Senin, 24 Juni 2013

PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI



Oleh: Ani Kartini Sumarni  
JURUSAN : PEDAGOGIK 
PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI  
FAKULTAS : ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


KATA PENGANTAR

Al-Hamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Dengan judul; Pendekatan Pembelajaran di Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini ini dilatarbelakangi oleh kritikan dari Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Dr Gutama yang mengungkapkan bahwa “Sekitar 60% dari 55.000 lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) formal atau nonformal di Indonesia, belum memahami metode pembelajaran yang seharusnya diterapkan. Sementara sisanya belum matang dalam pemahaman metode” (Suara Merdeka, 2007). masih rendahnya pemahaman pendekatan serta metode yang akan diberikan pada anak usia dini ini menjadi permulanaan bagi penulis. Sebelumnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya; keluarga, kerabat serta teman-teman semuanya. Semoga Allah membalas setiap jasa yang telah diberikan pada penulis
Penulisan ini terbagi ke dalam empat bab. Bab I mengemukakan permasalahan yang diangkat dalam penulisan. Bab II berisi pembahasan. Bab III simpulan dan saran. Bab IV Daftar pustaka. Penulis berharap semoga Penulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca pada umumnya.                                     
 Bandung,  Januari 2013
  Ani Kartini Sumarni

DAFTAR ISI



s

BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 14).
Anak usia dini adalah “anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak” (Sujiono, 2009: 7). Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai “suatu wadah untuk menyiapkan generasi sejak dini”. Namun dalam pelaksanaannya PAUD di Indonesia terkesan ekslusif dan baru menjangkau sebagian kecil masyarakat (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 33). Istilah PAUD sendiri belum banyak dipahami masyarakat luas dan selama ini pemahaman umum tentang PAUD masih terbatas, terutama mengenai tentang pendekatan pembelajaran di lembaga PAUD itu sendiri.
Menurut W. Gumo (dalam Siregar, 2010: 75), Pendekatan pembelajaran adalah “suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa berinteraksi dengan lingkungannya”.
Bahkan menurut Direktur PAUD Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Dr Gutama mengatakan “Sekitar 60% dari 55.000 lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) nonformal di Indonesia, belum memahami metode pembelajaran yang seharusnya diterapkan. Sementara sisanya belum matang dalam pemahaman metode” (Suara Merdeka, 2007). Bagaimana bisa memahami metode! Kalau pendekatan lembaganya saja masih belum mengerti. Ini menjadi sebuah PR bagi kita semua sebagai mahasiswa sekaligus calon/guru PAUD yang mesti bisa diselesaikan terutama dalam pembenahan faham yang telah menjadi daging bagi lembaga yang tidak mempunyai visi kejelasan.  
Berdasarkan sebab-sebab yang sudah ditulis di atas, Pembahasan penulis ini akan mencoba mengungkap secara deskriptif dengan pendekatan studi literatur tentang pendekatan pembelajaran di lembaga PAUD, sehingga bisa diterapkan pada lembaga PAUD yang ada di Indonesia. Penulis mengambil judul penelitian sebagai berikut; PENDEKATAN PEMBELAJARAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI.
     

B.     Perumusan dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1.         Apa konsep dasar pendidikan anak usia dini?
2.         Apa pengertian pendekatan pembelajaran?
3.         Apa saja pendekatan lembaga pada anak usia dini?
4.         Apa saja metode-metode pembelajaran yang dapat digunakan di lembaga PAUD?
Sedangkan, ruang lingkup pembatasan masalah dari penulisan ini adalah;
1.         Materi pendekatan belajar dibatasi pada materi DAP, akademik dan non akademik, serta bermain.
2.         Penerapan pendekatan belajar di lembaga pada pendidikan anak usia dini

C.    Tujuan Penulisan

Dengan melihat permasalahan yang ada, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1.         Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan anak usia dini.
2.         Untuk mengetahui perbedaan pendekatan dan metode.
3.         Untuk mengetahui berbagai pendekatan lembaga pada anak usia dini.
4.         Untuk mengetahui metode-metode pembelajaran yang dapat digunakan di lembaga PAUD.

D.    Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi literatur. Nazir (1999:52) mendefinisikan bahwa:
Metode deskriptif merupakan perencanaan fakta dengan interpretasi yang tepat. Sementara secara harfiah metode deskriptif merupakan metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi dasar belaka.
Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan, pendekatan studi literatur. Pendekatan ini merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan, buku-buku dan jasa informasi yang disediakan (Sofian Effendi, 1989: 70).

E.     Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
B.  Perumusan Penulisan dan Pembatasan Permasalahan
C.  Tujuan Penulisan
D.  Sistematika penulisan
BAB II : PEMBAHASAN
A.  Konsep Dasar PAUD
B.  Pengertian Pendekatan, Metode dan Perbedaannya
C.  Pendekatan-pendekatan Lembaga PAUD
D.  Metode-metode Pembelajaran
BAB III : PENUTUP
A.  Kesimpulan
B.  Saran-saran
BAB iV : DAFTAR PUSTAKA

BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

1.      Definisi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, pasal 1, butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan ruhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.
Sedangkan pada pasal 28 ayat 2 tentang pendidikan anak usia dini dinyatakan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 33).
Pendidikan anak usia dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar kearah pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kecerdasan, daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial (Hasan, 2009). Senada dengan hal tersebut, menurut Santrock (2007) bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini tidak hanya melibatkan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak saja. Namun pembelajaran juga diorganisasikan sesuai dengan minat-minat dan gaya belajar anak.
Sedangkan menurut Direktorat PAUD (2004) Pendidikan anak usia dini merupakan suatu wadah untuk menyiapkan generasi sejak dini. Dan memiliki program yang khas.
Dari beberapa pendefinisian PAUD diatas, maka bisa disimpulkan bahwa: “PAUD merupakan suatu wadah untuk meletakkan dasar kearah pertumbuhan, perkembangan fisik, kecerdasan, sosial, spiritual serta pembelajaran yang menyenangkan sesuai dengan minat-minat dan gaya belajar anak”.   

2.      Tujuan PAUD

Setiap tindakan dan aktivitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai standar untuk mengakhiri usaha serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuantujuan lain. Di samping itu tujuan dapat membatasi ruang usaha agar kegiatan dapat terfokus pada apa yang dicita-citakan, dan dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya.
  Bila pendidikan kita pandang sebagai suatu proses, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada hakikatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mempengaruhi dan mewarnai pola kepribadian mannusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriyahnya.
Dengan kata lain perilaku lahiriyah adalah cermin yang memproyeksi nilai-nilai ideal yang telah mengacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses kependidikan (Arifin, 1991: 109).
Tujuan adalah sesuatu yang akan dituju atau akan dicapai dengan suatu kegiatan atau usaha. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka menjadi suatu yang hendak dicapai dengan kegiatan atau usaha dalam kaitannya dengan pendidikan.tujuan pendidikan adalah batas akhir yang dicita-citakan seseorang dan dijadikan pusat perhatiannya untuk dicapai melalui usaha. Pendapat lain mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subyek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup (Mansur, 2005: 329-330).
Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional perlu adanya peningkatan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan meningkatkan kualitas manusia menjadi masyarakat yang maju, adil, makmur, dan sejahtera.
"Mengingat sangat pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa dan Negara, maka hampir seluruh warga di dunia ini menangani secara langsung masalah kebijakan. Dalam hal ini masalah kebijakan masingmasing Negara menentukan sendiri dasar dan tujuan pendidikan dinegaranya". Dari pendapat Amir Dien Kusuma tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam menentukan suatu dasar dan tujuan pendidikan harus disesuaikan dengan cita-cita dan pandangan hidup suatu bangsa (Kusuma, 1973: 45).
  Dasar, fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia  adalah sesuai dengan Undang-Undang Republic Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional pada BAB II pasal 2 dan 3 menyebutkan bahwa:
Pasal 2: "Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Pasal 3: "Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003, 2003: 7).
  Menurut penjelasan pasal di atas maka dasar pelaksanaan pendidikan anak usia dini atau pendidikan prasekolah yang mengacu kepada pendidikan nasional ialah berdasarkan pada pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan umum dari lembaga pendidikan anak usia dini yang mengacu kepada tujuan pendidikan nasional di Indonesia yaitu untuk menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mendiri, cerdas dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani. Sedangkan tujuan khusus dari pendidikan anak usia dini adalah:
a.       Memberi kesempatan kepada anak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik maupun psikologinya dan mengembangkan potensipotensi yang ada padanya secara optimal sebagai individu yang unik.
b.      Memberi bimbingan yang seksama agar anak memiliki sifat dan kebiasaan yang baik, sehingga mereka dapat diterima oleh masyarakatnya.
c.       Mencapai kematangan mental dan fisik yang dibutuhkan agar dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Searah dengan tujuan tersebut, lembaga pendidikan anak usia dini dimaksudkan sebagai suatu tempat bagi anak untuk mendapatkan kesempatan bimbingan yang terarah bagi perkembangan proses sosial bagi anak melalui cara yang sesuai dengan sifat-sifat alami yang dimilikinya.
Oleh karena itu penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikan anak usia dini harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai sehingga dapat terwujud dengan baik (Patmonodewo, 2000: 58).
  Selanjutnya tujuan pendidikan harus pula mendidik dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa pancasila dalam kehidupan anak didik baik di rumah maupun di sekolah sehingga benar-benar akan terciptalah manusia Indonesia yang sesuai dengan yang diinginkan oleh dasar dan tujuan Negara (Daradjat, 1975: 28).

3.      Fungsi PAUD

Fungsi pendidikan anak usia dini secara umum adalah:
a.       Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak
b.       Mengenalkan anak pada dunia sekitar
c.       Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik
d.      Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi
e.       Mengembangkan keterampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak
f.        Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan selanjutnya.

4.      Jenis Pelayanan Program PAUD

Dibanding dengan perkembangan model dan jenis PAUD di berbagai negara maju dan berkembang lainnya, PAUD di Indonesia memiliki keunikan khusus yang agak berbeda dengan di luar negeri. Karena di luar negeri PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedang di Indonesia menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 32-34) PAUD terbagi menjadi 2 (dua) jalur yaitu; formal dan non formal.
a.       Jalur Formal
Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
1)      Taman Kanak-kanak (TK)
         Menurut PP No.27/1990, mengemukakan bahwa “TK adalah pendidikan prasekolah yang ditujukan bagi anak usia 4-6 tahun sebelum memasuki pendidikan dasar”. Sedangkan menurut Kepmendikbud No. 0486/U/1992, BAB II pasal 3 ayat 1 (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 32) mengemukakan bahwa “tujuan penyelenggaraan TK adalah meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, perilaku, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta anak didik untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya”.
         Tugas TK yaitu: a) menyelenggarakan kegiatan belajar untuk kelompok A (4-5 tahun) dan kelompok B (5-6 tahun) sesuai dengan kurikulum yang berlaku, b) memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi anak-anak yang mengalami kesulitan dan bagi orang tua yang memerlukan, c) upaya pelayanan gizi dan kesehatan melalui makan bersama dalam setiap kegiatan belajarnya.
         Pembinaan pendidikan TK dilakukan oleh Depdiknas dan lembaga lain yang terkait
2)      Raudatul Athfal (RA)
         RA dengan TK tidak jauh berbeda, bahkan banyak memiliki kesamaan. Letak perbedaannya hanya pada nuansa keagamaannya lebih kental dan menjiwai keseluruhan.
         Ada pun mengenai tujuan dan sasaran/tugas dari RA pun sama dengan TK. Namun yang berbeda adalah Pembina dari RA yaitu Depag beserta jajarannya (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004: 33).   

b.       Jalur Non Formal
1)      Taman Penitipan Anak
          Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 34) Taman Penitipan Anak adalah wahana kesejahteraan sosial yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk waktu tertentu bagi anak yang orangtuanya berhalangan (bekerja, mencari nafkah, atau halangan lain) sehingga tidak berkesempatan memeberikan pelayanan kebutuhan kepada anaknya melalui penyelenggaraan sosialisasi dan pendidikan prasekolah bagi anak usia 3 bulan hingga memasuki pendidikan dasar.  
2)      Kelompok Bermain
          Menurut Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (2004: 34) Kelompok bermain adalah salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak usia dini khususnya usia 3 tahun sampai dengan memasuki pendidikan dasar. Sasaran kelompok bermain dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok; a) usia 3-4 tahun, b) 4-5 tahun, dan c) 5-6 tahun.   
3)      Bentuk Lain yang Sejenisnya
a)      Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
b)      Bina Keluarga Balita (BKB)

5.         Sistem Penyelenggaraan PAUD

Penyelenggaraan PAUD di negara lain semata-mata hanya menstimulasi kecerdasan anak secara komprehensif dan pengasuhan terhadap anak, karena aspek kecerdasan yang dikembangkan hanya meliputi kecerdasan intelektual, emosional, estetika, dan sosial serta pengasuhan. Sedang di Indonesia potensi kecerdasan tersebut diberikan juga pendidikan untuk mengembangkan potensi kecerdasan spiritual yang dilaksanakan melalui pendekatan olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Di samping itu, juga diberikan pengetahuan dan pembinaan terhadap kondisi kesehatan dan gizi peserta didik. Oleh karena itu, penyelenggaraan PAUD di Indonesia disebut penyelenggaran PAUD secara “Holistik dan Integratif”

6.         Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini

Dalam melaksanakan pendidikan anak usia dini, hendaknya menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.         Berorientasi pada kebutuhan anak
Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi pada kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi disemua aspek perkembangan baik fisik, intelektual, bahasa, motorik, dan sosioemosional. Berorientasi pada kebutuhan anak membuat pendidikan begitu menyenangkan. Anak akan menjadikan belajar sebagai kebutuhan pokoknya.
b.      Belajar melalui bermain
Bermain merupakan sarana belajar anak usia dini. Mulai bermain, anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan mengenai benda di sekitarnya. Dengan bermain anak berusaha memahami karakter teman-temannya, termasuk karakteristik orang dewasa disekitarnya. Bermain dan permainan bagi anak menjadi semacam air kehidupan yang begitu penting bagi kehidupan anak.
c.       Lingkungan yang kondusif
Steiner (Trostli, 1998) mengungkapkan bahwa “mulailah dengan lingkungan yang mencangkup tata letak dan rancangan ruang kelas serta daerah luar kelas yang digunakan oleh anak-anak”. Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat mendukung kegiatan belajar melalui bermain. Pasalnya lingkungan yang kondusif akan memelihara rasa anak-anak tentang keindahan dan susunan (Johnson, 2011: 359).
d.      Menggunakan pembelajaran terpadu
Pembelajaran terpadu bisa dikatakan sama dengan pembelajaran yang sesuai dengaan potensi dan bakat anak. Oleh karenanya, pendidikan dengan model pengelompokkan anak-anak yang dianggap pandai dalam ruangan tertentu membuat anak tidak bisa berkembang maksimal, khususnya pada aspek sosial emosional.


e.       Mengembangkan berbagai kecakapan hidup
Mengembangkan keterampilan hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri, bertanggung jawab, serta memiliki disiplin diri. Mengembangkan berbagai kecakan hidup juga akan mengajak anak untuk senantiasa kreatif dalam setiap langkah yang dipilih atau masalah yang menghadang.
f.       Menggunakan berbagai media edukatif dan sumber belajar
Media dan sumber pembelajaran dapat berasal dari lingkungan alam sekitar atau bahan-bahan yang sengaja disiapkan oleh pendidik  atau guru. Renik-renik disekitar kita bisa dijadikan bahan ajar yang begitu mempesona anak-anak didik. Hal ini karena renik-renik tersebut juga dekat dengan dunia anak, sehingga anak akan menikmati sumber belajar itu.
g.      Dilaksanakan secara bertahap dan berulang-ulang
Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap dimulai dari konsep yang sederhana dan dekat dengan anak. Agar konsep dapat dikuasai dengan baik hendaknya disajikan secara berulang. Kebertahapan dalam pendidikan membuat anak bisa menangkap makna atas apa yang diberikan. Pengulangan yang dilakukan membuat anak kianmelakukan kristalisasi atas pelajaran dan transfer ilmu serta nilai yang dilakukan.

7.         Komponen Kurikulum PAUD

Untuk dapat memberikan pendidikan yang dapat dipertanggung jawabkan, maka setiap sekolah perlu mempunyai sebuah rencana pendidikan yang sistematis, yaitu disebut kurikulum. Dalam kurikulum ini tercantum segala sesuatu yang dilakukan untuk memdidik anak dan yang berhubungan erat dengan pendidikan tersebut. Misalnya: tujuan pendidikan, mata pelajaran atau kegiatan di  sekolah, bahan pelajaran dan rinciannya untuk setiap tingkatan, cara pelaksanaannya dan sebagainya.
Ada beberapa batasan kurikulum yang sesuai dengan kurikulum pendidikan PAUD. Kurikulum adalah, seluruh usaha atau kegiatan sekolah untuk merangsang anak supaya belajar, baik di dalam maupun di luar kelas. Anak tidak terbatas belajar dari apa yang diberikan disekolah saja.
Seluruh pengembangan aspek seseorang dijangkau dalam kurikulum ini, baik aspek fisik, intelektual, sosial maupun emosional (Patmonodewo, 2000: 56).
Ada pun mengenai komponen kurikulum antara lain yaitu:
1)      Anak
Sasaran layanan pendidikan anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Pengelompokkan anak tersebut didasarkan pada usia sebagai berikut: 1) 0-1 tahun, 2) 1-2 tahun, 3) 2-3 tahun, 4) 3-4 tahun, 5) 4-5 tahun, dan 6) 5-6 tahun.
2)      Pendidik
Kompetensi pendidik anak usia dini memiliki kualifikasi akademik sekurang-kurangnya Diploma Empat atau Sarjana dibidang pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, atau psikologi, dan memiliki sertifikasi profesi guru PAUD, atau sekurang-kurangnya telah mendapat pelatihan pendidikan anak usia dini
3)      Pembelajaran
Pembelajaran dilakukan melalui kegiatan bermain yang dipersiapkan oleh pendidik dengan menyiapkan materi (content) dan proses belajar. Materi belajar bagi anak usia dini dibagi dalam dua kelompok usia. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut.
Materi usia lahir sampai usia 3 tahun meliputi hal-hal berikut:
1)        Pengenalan diri sendiri
2)        Pengenalan perasaan
3)        Pengenalan tentang orang lain
4)        Pengenalan berbagai gerak
5)        Mengembangkan komunikasi
6)        Keterampilan berpikir
Materi untuk anak usia 3-6 tahun meliputi hal-hal berikut :
1)        Keaksaraan, yang mencakup peningkatan kosakata dan bahasa, serta percakapan
2)        Konsep matematika yang mencakup pengenalan angka-angka, pola-pola dan hubungan.
3)        Pengetahuan alam yang lebih menekankan pada objek fisik, kehidupan bumi, dan lingkungan.
4)        Pengetahuan sosial yang mencakup hidup orang banyak, bekerja, berinteraksi dengan orang lain.
5)        Seni yang mencakup menari, music, bermain peran, menggambar, dan melukis.
6)        Teknologi yang mencakup alat-alat dan penggunaan teknologi yang digunakan dirumah atau sekolah

B.     Pengertian Pendekatan, Metode dan Perbedaannya

1.      Pendekatan

          Menurut W. Gumo (dalam Siregar, 2010: 77), Pendekatan pembelajaran adalah “suatu pandangan dalam mengupayakan cara siswa berinteraksi dengan lingkungannya”. Sedangkan menurut Pengertian Ujang Sukandi (2003:39) adalah  cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kacamata merah, semua tampak kemerah-merahan.
 

2.      Metode

          Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan, yaitu meta dan hodos. Meta berarti “melalui” dan hodos berarti “jalan” atau “cara”. Dengan demikian metode dapat berarti cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan (Arifin, 2000: 61). Menurut Nata (1999: 91) “metode adalah suatu sarana untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin tersebut.”
          Ada pun Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 740), metode, berarti: “Cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki., cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.”
          Dan Langgulung (1962: 183) berpendapat bahwa “metode sebenarnya berarti jalan (Å£ariqah) untuk mencapai tujuan”. Senada dengan Siregar (2010: 80) metode adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan pengertian yang terakhir ini, metode lebih memperlihatkan sebagai alat untuk mengolah dan mengembangkan suatu gagasan yang sudah di tetapkan.
          Sedangkan mengenai metode mengajar, Ramayulis (2005: 3), mengartikan bahwa metode mengajar sebagai cara yang dipergunakan oleh guru dalam mengadakan hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya proses pembelajaran.

3.      Perbedaan

Berdasarkan beberapa pendefinisian diatas, mengenai pendekatan serta metode. maka jelas sekali bahwa pendekatan ini sangat berbeda dengan metode.
Pendekatan lebih menekankan pada cara pandang, rancangan yang akan menciptakan metode. Sedangkan, metode adalah hasil dari cara pandang terhadap masalah.   

C.    Pendekatan-pendekatan Lembaga PAUD

1.      Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP)

DAP atau dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia adalah pendidikan yang patut dan menyenangkan sesuai dengan tahap perkembangan anak, mencerminkan proses pembelajaran yang bersifat interaktif.
Tiga (3) dimensi dalam konsep DAP antara lain, yaitu: Pertama; patut menurut umur, maksudnya sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Kedua; patut menurut lingkungan sosial dan budaya, maksudnya sesuai dengan pengalaman belajar yang bermakna relevan dan sesuai dengan kondisi sosial serta budaya. Ketiga; patut secara individual, maksudnya sesuai dengan pertumbuhan dan karakteristik anak, kelebihannya, ketertarikannya, dan pengalaman-pengalamannya. 
Dalam pencarian sumber pendekatan DAP penulis ambil dari buku pendidikan usia dini dengan berbagai pendekatan penulis Jaipaul L. Roopnarine dan James E. Johnson (2011: 372-373). Mereka mengungkapkan bahwa, pendekatan DAP antara lain yaitu:
a.       Menciptakan Masyarakat Pembelajar yang Mengasihi
1)      Lingkungan berfungsi sebagai masyarakat pembelajar
2)      Hubungan konsisten dan positif dengan orang dewasa dan anak-anak memajukan perkembangan yang sehat
3)      Hubungan sosial adalah konteks penting bagi pembelajar
4)      Lingkungan yang aman dan bebas tekanan meningkatkan masyarakat.
5)      Anak berkembang dengan organisasi dan rutinitas

b.      Mengajar untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran
1)      Guru menghornati dan menghargai anak-anak
2)      Prioritas gutu adalah agar anak dan responsive.
3)      Guru membantu perkembangan perkembangan kerja sama dengan teman sebaya.
4)      Guru menggunakan berbagai macam strategi pengajaran
5)      Guru membantu perkembangan tanggung jawab dan pengaturan diri.

c.       Membuat Kurikulum yang Tepat
1)      Kurikulum memberi ruang bagi semua bidang perkembangan.
2)      Kurikulum meliputi berbagai macam muatan dalam semua disiplin ilmu.
3)      Kurikulum mengembangkan apa yang sudah diketahui dan sudah bisa dilakukan oleh anak-anak.
4)      Kurikulum menggabungkan semua mata pelajaran secara singkat.
5)      Kurikulum meningkatkan perkembangan pengetahuan, pemahaman, proses, dan keterampilan.
6)      Muatan kurikulum memiliki kesatuan intelektual
7)      Kurikulum memberi kesempatan untuk mendukung budaya dan bahasa rumah anak-anak.
8)      Tujuan kurikulum nyata dan bisa dicapai
9)      Tekhnologi ditanamkan secara fisik dan filosofis, jika digunakan.

d.      Menilai Pembelajaran dan Perkembangan Anak-anak
1)      Penilaian sifatnya berkelanjutan, strategis, dan bertujuan.
2)      Isi penilaian mencerminkan kemajuan ke arah tujuan pembelajaran yang penting.
3)      Metode penilaian sesuai dengan usia dan pengalaman anak-anak.
4)      Penilaian dibuat sesuai dengan tujuan tertentu.
5)      Keputusan tidak pernah diambil berdasarkan satu perangkat penilaian saja
6)      Penilaian perkembangan digunakan untuk mengenali kebutuhan dan rencana dengan tepat.
7)      Penilaian mengakui variasi perorangan dan membiarkan adanya perbedaan.
e.       Membangun Hubungan Timbal Balik dengan Keluarga
1)      Hubungan timbal balik membutuhkan rasa saling menghormati.
2)      Penting untuk menetapkan dan mempertahankan komunikasi dua arah yang teratur dan sering.
3)      Orang tua disambut baik dalam program dan ikut serta dalam mengambil keputusan tentang anak-anak mereka.
4)      Guru dan orang tua berbagi pengetahuan tentang anak.
5)      Program ini melibatkan keluarga dalam penilaian dan perencanaan bagi setiap anak.
6)      Program ini menghubungkan keluarga dengan serangkaian pelayanan.
7)      Informasi perkembangan tentang anak dibagikan kepada semua pihak yang bertanggung jawab atas pendidikan anak tersebut.

2.      Pendekatan Waldorf

a.       Teori Steiner tentang perkembangan anak
Bermula dari pemahaman antroposofinya yaitu sebuah gerakan spiritual sains yang berakar pada agama Kristen. Pemahaman ini mengenai tentang kesatuan dunia dan pencariaan diri. Dua komponen penting ini menjadi sebuah dasar bagi pemikiran Steiner mengenai tentang dunia pendidikan.
Menurut Wilkinson (1996) Stainer mengajukan sebuah teori perkembangan anak dengan masing-masing siklus selama 7 tahun yang menggabungkan perkembangan fisik dan spiritual. Pada 7 tahun pertama kehidupan, menurut stainer perkembangan anak-anak terfokus pada raga fisik mereka. Mereka meniru orang dewasa disekitar mereka. Siklus 7 tahun berikutnya meliputi usia 7 tahun hingga 14 tahun dan ditandai oleh pertumbuhan gigi permanen anak. Pada tahap perkembangan ini anak lebih menyadari dunia sekitarnya dan siap memualai pengajaran akademik. Siklus 7 tahun berkisar dari usia 14 hingga 21 tahun dan diawali dengan permulaan masa puber. Kemudian remaja siap menggabungkan kecerdasan mereka dengan pemikiran aplikasi yang lebih abstrak. Teori perkembangan siklus 7 tahun ini diuraikan Stainer hingga usia 85 tahun (Johnson, 2011: 355).
Teori perkembangan Steiner adalah keyakinannya tentang pendidikan. Steiner mengamati bahwa persekolahan harus menitikberatkan pada perkembangan raga, pikiran, dan jiwa anak seluruhnya.

b.      Konteks Pendidikan Waldorf
Beberapa sekolah Waldorf hanya menyediakan pendidikan taman kanak-kanak, sedangkan sekolah lain menyediakan taman kanak-kanak hingga sekolah dasar kelas 12 atau 13.
1)      Taman Kanak-kanak Waldorf
         Taman kanak-kanak di sekolah Waldorf sangat berbeda dengan tingkat persekolahan lainnya, dan berbeda dari sebagian besar taman kanak-kanak umumnya. Waldorf melayani anak-anak antara usia 3 hingga 6 tahun.
         Kurikulum sekolah ini berisi permainan imajinasi, dongeng, fable, cerita rakyat, kegiatan seni tiruan, pekerjaan seperti merajut dan memanggang roti, alat musik, tari, drama, dan kesadaran akan alam, siklus, dan cuaca.
         Taman kanak-kanak waldorf anak-anak diharapkan menjadi anak-anak, tidak terlalu di haruskan untuk tergesa-gesa menjadi anak yang terbaik pada waktunya.
2)      Sekolah Dasar Waldorf
         Pada usia 7 tahun anak memasuki tahap perkembangan dan persekolahan selanjutnya yang berhubungan dengan kelas dua hingga kelas delapan. Untuk memulai belajar membaca di kelas 3 atau 4, jauh lebih lambat dibandingkan sekolah negeri pada umunya.
         Menurut teori Steiner, anak-anak pada tahap kedua ini sudah siap mempelajari subjek akademik. Mereka memiliki dasar yang kuat. Kesadaran mereka pada dunia luar yang terus tumbuh.
Bidang akademik utama yang dicakup pada titik ini umunya adalah membaca, menulis, keterampilan bahasa, matematika, geografi, sejarah dan sains.
         Menurut Johnson (2011: 357) Jadwal harian umum di kelas 1 hingga 8 berlangsung seperti berikut. Setiap pagi, guru memberi salam pada masing-masing siswa pada saat mereka tiba di kelas. Kemudian seluruh kelas berkumpul bersama-sama mengucapkan syair pagi. Ini biasanya merupakan bacaan penuh inspirasi yang diadopsi oleh kelas selama setahun penuh. Pelajaran pertama berlangsung selama 2 jam.   
3)      Pelatihan Guru Waldorf
         Menurut Johnson (2011: 357) saat ini terdapat lebih dari 50 sekolah pelatihan penuh waktu di seluruh dunia, sekurangnya delapan dari sekolah itu berada di Amerika Serikat.
Ini membuktikan bahwa pemahaman Steiner bisa di terima sepenuhnya oleh para pendidik. Pelatihan guru Waldorf berfokus pada perkuliahan dan tulisan Steiner. Setelah seorang guru melakukan pelatihan tersebut, seorang guru bisa dengan lebih baik mengenali kebutuhan anak-anak secara individual. 
c.       Karakteristik Program
1)      Menciptakan Masyarakat Pembelajar yang Peduli.
         Pentingnya lingkungan fisik, pengelompokkan usia, kegiatan yang terencana, jadwal dan hubungan sosial. Semua elemen-elemen ini sangat penting sebagai dasar menciptakan masyarakat yang terpelajar serta peduli terhadap lingkungan disekitarnya.
2)      Kepekaan Anak-anak pada Lingkungan.
         Trostli (1998) mengungkapkan bahwa Lingkungan anak usia dini waldorf memelihara rasa anak-anak tentang keindahan dan susunan (Johnson, 2011: 359).
         Lingkungan adalah tempat yang penting untuk memulai. Estetika ruangan memegang peranan penting dalam perasaan umum mengenai ruang pembelajaran. Sehingga dari penciptaan lingkungan yang telah ditata tersebut akan berimbas pada kepekaan anak-anak terhadap lingkungannya sendiri dan orang lain.
3)      Pentingnya Imitasi dan Permainan.
         Steiner menekankan terhadap dua aspek penting yaitu; imitasi dan permainan. Anak-anak memiliki pembawaan ingin tahu tentang pekerjaan orang dewasa dan secara naluriah meniru apa yang mereka lihat untuk memperdalam pemahaman mereka sendiri.
Sedangkan permainan merupakan metode penting lainnya dimana didalamnya anak-anak mengembangkan rasa kemasyarakatan. Anak-anak bisa belajar menyelesaikan konflik, dan melakukan berbagai metode komunikasi.

4)      Manfaat Pengelompokkan Campur Usia.
Manfaat pengelompokkan ini antara lain; a) sebagai contoh teladan bagi anak yang lebih muda, b) anak yang lebih tua belajar menghormati kepada anak yang lebih muda usianya, c) anak yang lebih tua memperoleh sikap mengasihi dan tanggung jawab serta meningkatkan kognitif sosial.   
5)      Menetapkan Ritme dan Rutinitas.
Waldorf juga berperan untuk membantu meningkatkan rasa kemasyarakatan. Guru berusaha sendiri menetapkan rutinitas yang berulang setiap hari, setiap minggu, setiap musim, dan setiap tahun.
Ada ritme setiap hari yang melibatkan keseimbangan waktu yang dihabiskan untuk “menarik napas” dan “menghembuskan napas.” Waktu-waktu ini menawarkaan pengalaman bagi anak-anak dengan saat-saat pengungkapan.

d.      Mengajar untuk Mendorong Perkembangan dan Pembelajaran
1)      Penghormatan, Antusiasme, dan Perlindungan
2)      Menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan responsif
3)      Hubungan Anak-anak dengan pengalaman
4)      Belajar dengan melakukan
5)      Tanggung jawab dan regulasi diri

e.       Kurikulum yang Tepat
1)      Memelihara Anak Secara Keseluruhan “Kepala, Hati, dan Tangan”.
2)      Mendorong Perkembangan Holistik.
3)      Menggabungkan Berbagai Jenis Disiplin Ilmu.
4)      Mempertahankan Keteguhan Kecerdasan.
5)      Merangkul Perbedaan

f.       Menilai pembelajaran anak-anak
g.      Membangun hubungan dengan keluarga

3.      Pendekatan Akademik dan Non Akademik

a.        Akademik
Para penganut pendekatan pendidikan TK akademik memiliki prinsip bahwa belajar dengan lebih cepat berarti lebih baik. Jadi, kalau anak bisa menguasai materi pelajaran secara lebih awal dan lebih cepat dari yang lain, berarti anak itu telah belajar dengan lebih baik. Sesuai prinsip di atas, pendidikan TK berorientasi akademik terfokus pada upaya mengarahkan anak untuk bisa menguasai sejumlah materi pengetahuan, keterampilan, atau hafalan tertentu dengan singkat. Para pendidik yang menganut pendekatan ini berupaya mengembangkan cara-cara belajar cepat agar hasil belajar anak dapat segera diketahui. Greenberg (1990) memandang bahwa pendekatan pendidikan TK berorientasi akademik ini banyak dilandasi oleh paham behavioristik yang sangat menekankan unsur mastery dan testing. Penggunaan unsur reinforcement yang positif terhadap keberhasilan anak dalam menyelesaikan tugas juga merupakan hal yang penting dalam pembentukan perilaku anak.
1)      Model Kurikulum
Para penganut pendekatan ini berpendapat bahwa cara pembelajaran yang baik dilakukan melalui beberapa mata pelajaran terpisah yang disajikan dalam periode-periode pendek. Dengan demikian, anak dapat belajar lebih cepat sehingga bisa memenuhi keperluan-keperluan belajar lebih lanjut secara lebih awal. Ini berarti bahwa pendekatan ini meminimalkan arti pentingnya usia dan tahap perkembangan anak.
Bahan pembelajaran disusun secara berstruktur dan sistematis dari elemen-elemen kecil yang sederhana hingga elemen-elemen yang lebih besar dan lebih rumit. Ciri lain dari kurikulum pendekatan ini adalah penekanan pada keterampilan-keterampilan yang berupa penguasaan simbol-simbol yang mempresentasikan sesuatu (huruf atau angka) dan bukannya menguji dan mengeksplorasi hal tersebut secara langsung. Kurikulum atau program pembelajaran  pada pendekatan akademik sudah disiapkan dengan matang “dari luar kelas”. Maksudnya dengan merujuk pada standar-standar program dan buku-buku teks yang dijadikan acuan, guru sudah menyiapkan program pembelajaran secara sistematis dan matang sebelum masuk kelas sehingga pada saat proses pembelajaran berlangsung ia kurang atau bahkan tidak mengakomodasi hal-hal yang secara kontekstual terjadi. Akibatnya variasi individual siswa (minat dan bakat) kurang begitu diperhatikan dan di akomodasi dalam kegiatan pembelajaran di kelas.
Greenberg (1990) menjelaskan bahwa dalam pendekatan ini juga mencakup kegiatan bermain, tetapi itu dilakukan secara singkat dan diposisikan sebagai kegiatan rekreasi pada waktu istirahat. Kegiatan-kegiatan proyek dan beberapa kegiatan seni juga dijadwalkan tetapi diberiak sebatas sebagai program “pengayaan” atau sebagai aktivitas sekunder, bukan sebagai kurikulum inti. Kurikulum inti merupakan suatu rangkaian pengetahuan dan keterampilan yang sudah dipilah-pilah yang disampaikan pada anak dalam langkah-langkah pelajaran yang sangat berstruktur.
2)      Cara Pembelajaran
Model kurikulum yang berstruktur dan sistematis banyak dilakukan melalui “direct instruction”, dalam arti, guru mengajarkan materi-materi pengetahuan dan keterampilan yang sudah disiapkan dan murid memperhatikan penjelasan guru dan mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Akibatnya, murid hanya memiliki sedikit pilihan. Prakarsa-prakarsa murid yang sifatnya spontan hanya terjadi pada saat bermain bebas ketika istirahat. Sebaliknya, kepatuhan anak untuk mengikuti prosedur atau langkah-langkah pembelajaran yang sudah direncanakan oleh guru sangat dihargai.
Pola pembelajaran demikian membuat anak lebih banyak duduk mencurahkan perhatian kepada guru yang sedang “mengajar” atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang diberikan oleh guru. Tugas-tugas yang diberikan anak sering berupa pekerjaan yang melibatkan penggunaan kertas, pensil. Aktivitas menghafal dan mengingat fakta juga begitu dominan dalam pendekatan ini. Dengan demikian anak kurang memiliki kesempatan belajar untuk melalaui percakapan informasi di kelas. Kesempatan anak untuk belajar menemukan juga sangat minim, yakni hanya menemukan jawaban-jawaban benar dari beberapa kemungkinan jawaban yang sudah disediakan.
Anak juga kurang mengalami tantangan intelektual karena latihan pemecahan masalah dilakukan terbatas pada masalah-masalah yang sudah distruktur dan disediakan dalam paket-paket lembaran kerja, seperti menghubungkan gambar dengan memecahkan untuk murid dengan cara menceritakan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh murid, dan bukannya anak yang diberi kesempatan untuk menguji dan menemukan alternatif-alternatif dari persoalan prilaku tersebut.
Guru lazimnya sangat sibuk mengejar target kurikulum atau program pembelajaran. Akibatnya, aktivitas bermain anak dan penggunaan metode proyek menjadi sangat minim. Kalaupun dilakukan, lebih sebagai “ganjaran” bagi anak yang sudah belajar dan itu dilakukan pada waktu istirahat; begitu juga kegiatan proyek dilakukan sebagai kegiatan pengayaan menjelang libur dan bukan sebagai kegiatan pembelajatan inti.
3)      Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan akademik, peran guru sangat dominan. Guru adalah perencana kegiatan kelas tanpa melibatkan unsur murid. Ia adalah pengelola ruang, waktu, serta alat dan media pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya. Ia merupakan sumber informasi serta penentu standar perilaku didalam kelas yang harus di turuti oleh anak. Singkatnya, guru adalah penguasa kelas yang cenderung menerapkan manajemen kelas yang otoriter ,anak berperan sebagai penerima pelajaran, mereka menjadi pihak penerima fakta yang kemudian menghafalkannya. Mereka tidak diarahkan untuk melakukan aktivitas pembuktian apakah fakta-fakta tersebut benar atau tidak. Kemudian mereka menjadi objek penilaian guru atas hasil karya atau perilaku yang mereka lakukan.
4)      Cara Evaluasi
Evaluasi difokuskan pada prestasi anak dalam penyelesaian tugas-tugas akademik, karena sangat menekankan unsur penguasan pengetahuan, penggunaan tes menjadi sangat dominan. Evaluasi di lakukan oleh guru sehingga hampir tak ada peluang bagi anak untuk menilai kemajuan belajarnya sendiri. Anak secara pasif menunggu evaluasi dan penghargaan dari guru, dan mereka mendapatkan penguatan positif untuk keberhasilan penguasaan materi atau perilaku yang diajarkan oleh guru. 
5)      Keuntungan dan Kelemahan
Keuntungan dari pendidikan berorientasi akademik adalah agar anak dapat lebih cepat menghafal informasi atau fakta dan menguasai ketrampilan yang diajarkan. Dengan pendekatan ini guru lebih mudah dalam merancang dan mengelola kegiatan belajar mengajar karena tidak perlu bersusah payah mengikuti dan mengakomodasi variasi individu anak.
Adapun kelemahannya, pertama adalah kurangnya keterlibatan aktif anak dalam proses belajar. Kedua, pengembangan kreativitas anak juga menjadi kurang. Ketiga, proses dan hasil belajar kurang bermakna bagi anak. Keempat, proses belajar yang kurang bermakna ini dapat memunculkan sikap dan perilaku belajar yang negatif pada anak, anak menjadi bosan dan tidak bergairah dalam belajar. Mereka menganggap kalau belajar adalah beban dan tugas dari guru dan orang tua, bukannya sebagai bagian dari kebutuhan dan kegiatannya sehari-hari. Kelima, penekanan pada aspek akademik dari pendekatan ini membuat aspek-aspek perkembangan anak lainnya menjadi kurang perkembangan secara proporsional.

b.      Non Akademik
Pendekatan non akademik berangkat dari pandangan bahwa anak pada dasarnya merupakan pembelajar aktif (an active learner). Anak mampu membangun pengetahuan dan pemahamannya tentang lingkungan melalui pengalaman-pengalaman interaksional. Pengetahuan dan pemahaman itu bukan merupakan sesuatu yang diberikan oleh orang lain kepada anak, melainkan merupakan sesuatu yang di konstruksi oleh anak. Jadi, berbeda dengan para penganut pendekatan akademik, para pendukung pendekatan non akademik tidak meyakini adanya suatu batang tubuh pengetahuan yang sudah permanen (fixed) yang harus dikuasai oleh anak. Pengetahuan itu justru merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak. Dalam kategori yang luas, menurut Greenberg (1990), dewasa ini pendekatan non akademik dikenal sebagai pendidikan yang berorientasi perkembangan (Developmentally Appropriate Practice). Bila ditelusuri lebih jauh, pendekatan ini banyak diilhami oleh pemikiran dari tokoh-tokoh seperi John Dewey, Arnold Gesell, Jean Piaget, dan Davil Elkind.
1)      Model Kurikulum
Kurikulum pendidikan TK non akademik adalah kurikulum terintegrasi. Melalui kurikulum terintegrasi, subjek-subjek bidang pengetahuan dan keterangan tidak dipelajari secara terpisah-pisah, melainkan dipelajari sebagai suatu kesatuan yang terpandu secara informal dalam kegiatan-kegiatan belajar anak.
Anak memiliki kesempatan untuk berprakarsa dan melakukan pilihan sehingga apa yang dikaji dalam kegiatan pembelajaran sudah merepresentasikan minat-minat dan pilihan-pilihan anak tersebut. Secara singkat, modul kurikulum dalam pendekatan non akademik berpegang pada prinsip-prinsip berikut.
a)      Memungkinkan anak untuk belajar tentang lingkungan melalui eksplorasi dan interaksi baik dengan guru, teman, anggota keluarga, maupun dengan orang lain.
b)      Berangkat dari minat dan pilihan anak tentang topic-topik yang ingin dipelajari. Dalam hal ini, guru memiliki semacam standar yang dijadikan rambu-rambu secara garis besar, namun dalam implementasinya memperhatikan dan merespon apa yang terjadi secara kontektual dikelas.
c)      Memberikan kesempatan yang luas kepada anak untuk belajar dalam suasana bermain yang menyenangkan agar anak mendapatkan makna dari pengalaman sendiri.
d)     Proses belajar mengajar bersifat integrative dan sedapat mungkin tidak mengikuti langkah-langkah pembelajaran yang kaku.
2)      Cara Pembelajaran
Dalam pendekatan non akademik proses pembelajaran sangat menekankan melalui pengalaman langsung (hands on experience). Anak diberi kesempatan untuk memecahkan masalah-masalah yang ditemukannya, bukan masalah-masalah yang tidak terkait dengan konteks kehidupannya. Ia diberi kesempatan untuk bereksperimen, bereksplorasi, dan menemukan sesuatu dari pengalamannya melalui pengalaman-pengalaman semacam itu, anak membangun pemahaman dan menciptakan konsep-konsep sesuai dengan rentang perkembangan intelektualnya masing-masing.
Untuk menciptakan pengalaman belajar yang bermakna, minat dan prakasa anak sangat diperhatikan dalam pendekatan non akademik. Guru memiliki perencanaan pembelajaran, namun perencanaan tersebut dipersiapkan dengan mengakomodasi minat-minat dan pilihan anak. Bahkan hal-hal yang secara spontan terjadi dalam kegiatan anak diperhatikan dan sedapat mungkin diakomodasi dalam proses pembelajaran. Unsur inisiatif dalam kreatifitas anak benar-benar diperhatikan dan dihargai dalam pendekatan ini. Dan karena perhatiannya yang begitu besar terhadap unsur variasi individual anak, proses pembelajaran menjadi relative fleksibel.
Pengalaman-pengalaman interaksional anak dengan orang lain juga diperkaya dalam pendekatan ini. Guru membacakan cerita-cerita ke anak dan bercakap-cakap dengan mereka. Anak pun memiliki kesempatan untuk bercerita kepada teman dan gurunya serta menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan teman dan gurunya tentang cerita yang disampaikan. Mereka memiliki kesempatan yang luas untuk berdiskusi dan belajar bersama satu sama lain. Pengertian belajar bersama ini bukan sekedar anak sama-sama belajar pada tempat yang sama, tetapi mereka benar-benar mengalami sesuatu secara bekerja sama satu sama lain. Untuk mengimplementasikan cara-cara belajar di atas, proses pembelajaran melalui aktivitas bermain dan proyek atau tema-tema yang menarik bagi anak menjadi sangat dominan dalam pendekatan ini. Bermain merupakan sarana inti pembelajaran. Proses pembelajaran dilakukan melalui berbagai kegiatan yang secara interinstik menarik dan menggairahkan anak. Begitu pula, kegiatan-kegiatan proyek bukan sekedar dilakukan sebagai program pengayaan, tetapi justru dijadikan sebagai cara utama dalam mengorganisasikan kegiatan pembelajaran.
3)      Peran Guru dan Anak
Dalam pendekatan non akademik, guru dan anak sama-sama berperan aktif. Sementara guru berperan sebagai fasilitator kegiatan belajar anak, anak berperan sebagai pembelajaran aktif. Mereka sama-sama aktif dalam perencanaan, proses, dan bahkan dalam evaluasi pembelajaran.
Sebagai fasilitator kegiatan belajar anak, guru mempersiapkan kegiatan pembelajaran. Dan dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran, guru mempelajari pengetahuan-pengetahuan teoritis atau konvensional yang sudah ada, namun juga mengakomodasi minat-minat dan pilihan-pilihan anak. Guru menstimulasi dan memotivasi anak untuk belajar, memberi kesempatan pada anak untuk mengembangkan berbagai kemampuan, membantu anak dikala kesulitan,serta menyiapkan lingkungan belajar yang kaya bagi anak. Guru juga mengevaluasi proses dan hasil belajar anak dengan melibatkan anak dalam proses evaluasi tersebut.
Dipihak lain, anak berperan sangat aktif dalam pembelajaran. Anak terlibat dalam proses perencanaan dan memiliki kesempatan yang luas untuk berprakarsa. Pada saat proses perencanaan, anak memiliki kesempatan untuk memuncukan ide-ide serta turut mendiskusikan tema- tema atau kegiatan-kegiatan proyek yang akan diprogramkan selama priode tertentu (misalnya, kuartal atau semester). Begitu pula dalam proses pembelajaran, murid memiliki kesempatan memprakasai, mencoba, mengeksplorasi, dan menemukan sesuatu. Anak berkesempatan untuk belajar individual, bersama teman, dan bersama guru atau orang dewasa lainnya.anak tidak secara ketat diarahkan untuk mempelajari meteri pengetahuan dan keterampilan yang sudah berstruktur, melaikan mendapatkan kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pengalamannya melalui pengalaman-pengalaman langsung. Akhirnya dalam proses evaluasi pun, anak berkesempatan untuk terlibat dalam menganalisis dan menilai keberhasilan belajarnya sehingga tidak semata-mata menunggu atau mengandalkan penilaian dari guru.
4)      Cara Evaluasi
Dalam pendekatan non akademik, penggunaan intrinsic reward lebih ditekankan dari pada ektrinsic reward. Jadi, bukan unsur penghargaan eksternal yang diutamakan untuk memotivasi murid, melainkan unsur penghargaan internal, yakni kepuasan anak akan keberhasilan belajar dan prestasinya. Dengan demikian, penilaian lebih terfokus kepada hal-hal positif yang diraih anak sehingga ia bangga dengan prestasinya dan menjadi senang untuk terus berkarya.
Penilaian tidak semata-mata dimaksudkan untuk menentukan taraf keberhasilan belajar anak, tetapi juga dipandang sebagai bagian dari proses pembelajaran. Dalam pendekatan ini, penggunaan tes cenderung dihindari karena lebih terfokus ke penilaian yang bersifat autentik (authentic assesment). Maksudnya, penilaian diupayakan terjadi dalam situasi dan konteks yang lebih alami sehingga apa yang ditampilkan anak betul-betul menggambarkan kondisi yang sebenarnya (authentic). Dengan demikian, penggunaan observasi, catatan anekdot, dan portofolio merupakan teknik-teknik utama dalam penilaian. Penilaian juga tidak semata-mata didasarkan pada informasi yang dimiliki guru, tetapi juga didasarkan pada masukan-masukan dari orang tua dan sumber-sumber lainnya.
5)      Keuntungan dan Kelemahan
Terdapat beberapa keuntungan dari pendekatan ini. Pertama, inisiatif anak untuk malakukan kegiatan belajar dapat berkembang dengan baik. Kedua, anak dapat secara aktif mengembangkan kreativitas dan membangun pengetaguan. Ketiga, proses pembelajaran dilakukan secara lebih alamiah (natural) dan menyenangkan sehingga dapat menumbuhkan motivasi dan sikap positifterhadap kegiatan belajar. Keempat, dalam jangka panjang pendekatan ini dipandang sangat mendukung perkembangan anak untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (a life long learner).
Meskipun banyak keuntungannya, pendekatan ini masih dianggap memiliki beberapa kelemahan oleh sebagian orang. Hal yang sering dipandang sebagai kelemahan dari pendekatan ini dalam waktu singkat. Dengan kata lain, penggnaan waktu sering dianggap kurang efisien. Sebagian orang cenderung beranggapan bahwa penerapan pendekatan ini memerlukan perlengkapan yang lebih banyak sehingga memerlukan dana yang lebih pula. Dalam aspek pengembangan kurikulum, sebagian orang juga sering merasa kesulitan karena harus mengikuti kejadian dan perkembangan di kelas.

4.      Pendekatan Bermain

Bermain merupakan suatu fenomena yang sangat menarik perhatian para pendidik, psikolog ahli filsafat dan banyak orang lagi sejak beberapa dekade yang lalu. Mereka tertantang untuk lebih memahami arti bermain dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Bermain benar-benar merupakan pengertian yang sulit dipahami karena muncul dalam beraneka ragam bentuk. Bermain itu sendiri bukan hanya tampak pada tingkah laku anak tetapi pada usia dewasa bahkan bukan hanya pada manusia (Spondek dalam Soemiarti, 2005: 102)
a.       Hakikat Bermain
Menurut Mayesty (1990: 196-197) Bermain adalah kegiatan yang anak-anak lakukan sepanjang hari karena bagi anak bermain adalah hidup dan hidup adalah permainan. Anak usia dini tidak membedakan antara bermain, belajar dan bekerja. Anak-anak pada umumnya sangat menikmati permainan dan akan terus melakukannya dimanapun mereka memiliki kesempatan.
Piaget dalam mayesty (1990: 42) mengungkapkan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/kepuasan bagi diri seseorang sedangkan Parten dalam Dockett dan Fleer (2004: 14) memandang kegiatan bermain sebagai sarana sosialisasi, diharapkan melalui bermain dapat memberi kesempatan anak bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secar menyenangkan (Sujiono, 2009: 144-145).
Emmy Budiati (2008) Bermain merupakan kebutuhan bagi anak, karena melalui bermain anak akan merasa senang, dan bermain adalah suatu kebutuhan yang sudah ada (inhern) dalam diri anak. Dengan demikian anak dapat mempelajari berbagai keterampilan dengan senang hati, tanpa merasa dipaksa atau pun terpaksa  ketika kegiatan bermain. Bermain mempunyai banyak manfaat dalam mengembangkan ketrampilan dan kecerdasan anak agar lebih siap menuju pendidikan selanjutnya. Kecerdasan anak tidak hanya ditentukan oleh skor tunggal yang diungkap melalui tes intelegensi saja akan tetapi anak juga memiliki sejumlah kecerdasan jamak yang berwujud keterampilan dan kemampuan.
Contohnya ketika menolong teman tidak saling berebut dan bertengkar kesediaan berbagi dan kedisiplinan, berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab.
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, frobel menganggap jika bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis. Artinya, bermain sebagai media untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak.  Bermain juga berfungsi sebagai sarana refresing untuk memulihkan tenaga seseorang setelah lelah bekerja dan dihinggapi rasa jenuh (Noorlaila, 2010: 35-37)
Jadi jika sejak awal perkembangannya anak dikondisikan pada bidang yang diminatinya maka anak akan semakin meningkat pengetahuannya akan bidang yang ditekuni kelak.

b.      Tujuan Bermain pada Anak Usia Dini
Pada dasarnya bermain memiliki tujuan utama, menurut Catron dan Allen (1999: 163) mengungkapkan bahwa memelihara perkembangan atau pertumbuhan optimal anak usia dini melalui pendekatan bermain yang kreatif, interaktif dan terintegrasi dengan lingkungan bermain anak.
Elkonin dalam Catron dan Allen (1999:163) salah seorang murid dari Vygodsky menggambarkan empat prinsip bermain yaitu:
1)      Dalam bermain anak mengembangkan sistem untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam rangka mengetahui tujuan yang kompleks.
2)      Kemampuan untuk menempatkan  perspektif orang lain melalui aturan-aturan dan menegosiasikan aturan bermain.
3)      Anak menggunakan  suatu replika untuk menggantikan prodak nyata lalu mereka menggantikan suatu prodak yang berbeda, kemampuan menggunakan simbul termasuk kedalam perkembangan berfikir abstrak dan imajinatif.
4)      Kehati-hatian dalam bermain mungkin terjadi karena anak perlu mengikuti aturan permainan yang telah di tentukan bersama teman lainnya.
Untuk mendukung hal tersebut seorang anak mampu melakukan pembelajaran yang situasinya merupakan khayalan anak tersebut atau yang bisa di sebut dengan bermain sosiodrama bermain pura-pura atau bermain drama.
Beberapa tujuan dari bermain dan permainan anak sebagai berikut:
1)      Menanamkan kebiasaan disiplin dan tanggung jawab dalam kehidupan sehari- hari.
2)      Melatih sikap ramah dan suka bekerja sama dengan teman, menujukkan kepedulian.
3)      Menanamkan budi pekerti yang baik.
4)      Melatih anak untuk berani dan menantang ingin mempunya rasa ingin tahu yang besar.
5)      Melatih anak untuk menyayangi dan mencintai lingkungan dan ciptaan Tuhan.
6)      Melatih anak untuk mencari berbagai konsb moral yang mendasar seperti salah, benar, jujur, adil dan fair.

c.       Fungsi Bermain
Pada awal abad yang lalu, Sigmund Freud sudah mengemukakan bahwa kegiatan bermain memungkinkan tersalurnya dorongan-dorongan instingtual anak dalam meringankan anak pada beban mental. Kegiatan bermain merupakan sarana yang aman yang dapat digunakan untuk mengulang-ulang pelaksanan dorongan- dorongan itu dan juga reaksi-reaksi mental yang mendasarinya.
Wolfgang (dalam Sujiono, 2009: 45-47) berpendapat bahwa terdapat sejumlah nilai-nilai dalam bermain (the value of play) yaitu bermain dapat mengembangkan keterampilan sosial, emosional, kognitif dalam pembelajaran terdapat berbagai kegiatan yang memiliki dampak dalam perkembangan anak, sehingga dapat di identifikasikan bahwa fungsi bermain antara lain:
1)      Berfungsi untuk mencerdaskan otot pikiran.
2)      Berfungsi untuk mengasah panca indra.
3)      Berfungsi sebagai media terapi.
4)      Berfungsi untuk memacu kreatifitas.
5)      Berfungsi untuk melatih intelektual.
6)      Berfungsi utuk menemukan sesuatu yang baru.
7)      Berfungsi untuk melatih empati.

d.      Perkembangan fase bermain
Beberapa hal untuk mengetahui tentang proses perkembangan anak adalah proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang berlangsung secara teratur, saling terkait dan berkesinambungan. Secara umum karakteristik perkembangan anak adalah:
 Pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara bersamaan dan berkorelasi. Sebagai contoh: pertumbuhan anak serat syaraf otak dan akan disertai oleh perubahan fungsi dari suatu perkembangan intelegensianya.Pembangunan ini memiliki pola yang teratur dan urutan. Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awal akan menentukan tahap berikutnya dari pertumbuhan dan perkembangan. Sebagai contoh: sebelum anak bisa berjalan, ia harus mampu bangun pertama (Noorlaila, 2010: 42).
Dalam bermaian, anak belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan dan orang yang ada di sekitarnya. Dari interaksi dengan lingkungan dan orang di sekitarnya maka kemampuan untuk ber sosialisasi anak pun akan semakin bertambah dan berkembang.pada usia 2 hingaga 5 tahun, anak memiliki perkembangan bermain dengan teman bermainnya.
Berikut ini ada enam tahapan perkembangan bermain pada anak menurut Parten dan Rogersdalam Dockettdan Fleer (1992:62) yang menjelaskan:
1)      Unoccupied atau tidak menetap.
Anak hanya melihat anak yang lain lagi bermain akan tetapi anak tidak ikut bermain. Anak pada tahap ini hanya mengamati sekeliling dan berjalan jalan, tetapi tidak terjadi interaksi dengan anak yang lagi bermain.
2)      Unlooker atau penonton
Pada tahap ini anak belum mau terlibat untuk bermain akan tetapi anak sudah memolai untuk mendekaat dan bertanya pada teman yang sedanh bermain dan anak sudah mulai muncul ketertarikan untuk bermain setelah mengamati anak mampu mengubah caranya untuk bermaian..
3)      Solitary independent play atau bermain sendiri.
Tahap ini anak sudah mulai untuk bermain ,akan tetapi seorang anak bermain sendiri dengan mainan nya, terkadang anak berbicara dengan teman nya yang sedang bermain, tetapi tidah terlibat dengan permainan anak lain.
4)      Parallel activiti atau kegiatan pararel.
Anak sudah mulai bermain dengan anak yang lain tetapi belum terjadi interaksi dengan anak yang lain nya dan anak cenderung menggunakan alat yang ada di sekelilingnya. Pada tahap ini ,anak juga tidak mempengaruhi dalam bermain dengan permainannya anak masih senang memanipulasi benda daripada bermain dengan anak lain. Dalam tahap ini biasanya anak anak memain kan alat permainan yang sama dengan anak yang lain naya. Apa yang dilakukan anak yang stau tidak mempengaruhi anak yang lain nya.
5)      Associative play atau bermain dengan teman.
Pada tahap terjadi interaksi yang lebih komplek pada anak. Terjadi tukar menukar mainan antara anak yang satu dengan yang lain nya dan cara bermain anak sudah saling mengingatkan. Meskipun anak dalam satu kelompok melakukan kegiatan yang sama, tidak terdapat aturan yang mengikat dan belum memiliki tujuan yang khusus atau belum terjadi dikusi untuk mencapai satu tujuan yang sama seperti menyusun bangunan bangunan yang bernacam-macam akan tetapi masing masing anak dapat sewaktu-waktu meninggalkan bangunan tersebuat dengan semaunya tidak terikat untuk merusak nya kembali.

6)      Cooperative or organized supplementary play atau kerja sama dalam bermain.
Saat anak bermain bersama dan lebih terorganisir dan masing masing menjalannkan sesuai dengan job yang sudah mereka dapat yang saling mempengaruhi satu sama yang lain. Anak bekerja sama dengan anak yang lain nya untuk membangun sesuatu terjadi persaingan memmbentuk permainan drama dan biasanya terpengaruh oleh anak yang memimpin permainan.
Dari keenam tahap diatas tampak bahwa dalam suatu permaian akan timbul rasa ingin tahu rasa ingin berinteraksi dan rasa untuk ber sosialisasi dengan anak yang lain nya.
bermain juga mengalami perkembangan kemampuan yang berbeda bagi masing masing anak yaitu sesuai dengan usia antara lain dari umur 0-2, 1-2, 2-3, 3-4, 4-5, 5-7, dan 7+. (Noorlaila, 2010: 146)
e.       Karakteristik Bermain pada Anak Usia Dini
Jeffree, McConkey dan Hewson (1984), dalam Yuliani (2009) menyebutkan enam karakteristik kegiatan bermain pada anak, yaitu: pertama, inisiatif untuk bermain harus muncul dari diri pemain sendiri. Ini mengandalkan permainan yang sifatnya sukarela, bukan paksaan. Kedua, bebas dari aturan mengikat. Terlalu banyak aturan justru menyebabkan permainan menjadi kurang menarik minat anak. Ketiga, bermian merepresentasikan aktifitas nyata. Sering kali anak memerankan suatu permianan yang merupakan miniatur dari aktifitas yang mereka lihat misalnya pergi ke pasar, menimba air dan sejenisnya. Dan media yang digunakan pun sering kali nyata, bukan semu, semacam air dan tanah atau debu. Keempat, permainan pada anak fokus pada proses, bukan pada hasil. Misalnya anak bermain seolah sedang memandikan boneka, maka permainan yang sesungguhnya adalah ketika anak berpura-pura memandikan boneka, bukan pada boneka yang merupakan output dari proses permainan tersebut. Apalagi sering kali dibumbui dengan percakapan di antara anak-anak yang terlibat dalam permainan tersebut.  Kelima, permainan yang sehat adalah di mana anak-anak sebagai pemain dominan, bukan orang dewasa yang mengintervensi dan mengendalikan permainan. Keenam, anak sebaiknya terlibat langsung dan aktif dalam proses permainan.
Itulah karakteristik permainan yang ideal, yang dianggap mampu memberikan implikasi positif dan manfaat bagi anak yang terlibat di dalamnya.

f.       Klasifikasi dan Jenis Bermain
Adapun jenis permainan yang dapat dikembangkan di dalam program kegiatan bermain anak usia dini dapat digolongkan ke dalam berbagai jenis permainan seperti dikemukakan oleh Jefree, Mc.Conkey, dan Hewson (1984) ialah permainan eksploratif (exploratory play), permainan dinamis (energenic play), permainan dengan keterampilan (skillful play), permainan sosial (sosial play), permainan imajinatif (imaginative play) dan permainan teka-teki (puzzle-out play). Keenam penggolongan tersebut pada dasarnya saling terintegrasi satu dengan lainnya sehingga dalam penerapannya mungkin saja salah satu permainan dapat mengembangkan jenis permainan yang lainnya. Justru keterpaduan diantaranya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak saat melakukan permainan tersebut (Sujiono, 2009: 146).
Selain permainan diatas, untuk lebih memfokuskan pada permainan kreatif yang dikembangkan maka Lopes (dalam Sujiono, 2009: 147), mengungkapkan bahwa permainan kreatif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1)      Kreasi terhadap objek (object creation) berupa kegiatan bermain dimana anak melakukan kreasi tertentu terhadap suatu objek.
2)      Cerita bersambung (continuing story) berupa kegiatan bermain dimana guru melalui awal sebuah cerita dan setiap anak menambahkan cerita selanjutnya bagian perbagian seperti cerita dengan menggunakan buku besar.
3)      Permainan drama kreatif (creative dramatic play) berupa permainan dimana anak dapat mengekspresikan diri melalui peniruan terhadap tingakah laku orang, hal ini dapat membuat mereka memahami dan menghadapi dunia seperti bermain dokter-dokteran.
4)      Gerakan kreatif (creative movement) berupa kegiatan bermain yang lebih menggunakan otot-otot besar seperti permainan aku seorang pemimpin dimana seorang anak melakukan gerakan tertentu dan anak lain mengikutinya/berpantomim atau kegiatan membangun dengan pasir, lumpur, dan atau tanah liat.
5)      Pertanyaan kretif (creative questioning) yang berhubungan dengan pertanyaan terbuka, menjawab pertanyaan dengan sentuhan panca indra, pertanyaan tentang perubahan, pertanyaan yang membutuhkan beragam jawaban, dan pertanyaan yang berhubungan dengan suatu proses atau kejadian.

D.    Metode-metode Pembelajaran Pada Usia Dini

1.      Metode Cerita

Cerita merupakan salah satu jenis sastra yang memiliki nilai estetika. Di dalamnya terdapat rasa kenikmatan yang tiada tara serta mampu menyedot perhatian anak-anak dan orang dewasa. Target tersebut baru bisa dicapai jika scenario di tulis dengan baik, disampaiakan dengan memukau dan dapat didengarkan oaudien yang berjiwa seni. Cerita adalah sastra yang yang berbentuk tulisan (yang dikonsumsi melalui bacaan) atau berbentuk lisan (yang dikonsumsi melalui audiensi) (Majid, 2003: 19-20).
Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan. Bila isi cerita itu dikaitkan dengan dunia kehidupan anak usia dini, maka mereka dapat memahami isi cerita itu, mereka akan mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan mudah dapat menangkap isi cerita. Kegiatan bercerita akan memberikan sejumlah pengetahuan sosial, nilai-nilai moral, dan keagamaan. Kegiatan bercerita juga memberikan pengalaman belajar untuk  berlatih mendengarkan. Melalui mendengarkan anak memperoleh  bermacam informasi tentang pengetahuan, nilai, dan sikap untuk dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memberi pengalaman belajar dengan menggunakan metode bercerita memungkinkan anak mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotorik masing-masing anak. Bila anak terlatih mendengarkan dengan baik, maka ia akan terlatih untuk menjadi pendengar yang kreatif dan kritis. Pendengar yang kreatif mampu melakukan pemikiran-pemikiran baru berdasarkan apa  yang didengarkannya. Pendengar yang kritis mampu menemukan ketidaksesuaian antara apa yang didengar dengan apa yang dipahami (R, 1999: 157-168).

2.      Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi adalah metode mengajarkan yang menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada anak didik. Memperjelas pengertian tersebut dalam prakteknya dapat dilakukan oleh guru itu sendiri atau langsung oleh anak didik.
Dengan metode demontrasi guru atau murid memperlihatkan pada seluruh anggota kelas sesuatu proses, misalnya bagaimana cara shalat yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.
Beberapa keuntungan atau kebaikan dalam metode demontrasi, yaitu:
1)        Perhatian anak didik dapat dipusatkan, dan titik berat yang dianggap penting oleh guru dapat diamati secara tajam.
2)        Perhatian anak didik akan lebih terpusat kepada apa yang didemontrasikan, jadi proses belajar anak didik akan lebih terarah dan akan mengurangi perhatian anak didik kepada masalah lain. Apabila anak didik sendiri ikut dalam sesuatu percobaan yang bersifat demontratif, maka mereka akan memperoleh pengalaman yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan kecakapan.

3.      Metode Karyawisata

Metode karyawisata ialah suatu metode pengajaran yang dilaksanakan dengan jalan mengajak anak-anak keluar kelas untuk dapat memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan bahan pelajaran. Dalam perjalanan karyawisata ada hal-hal tertentu yang telah direncanakan oleh guru untuk didemonstrasikan atau ditunjukkan kepada anak didik, di samping ada  hal-hal yang secara kebetulan diketemukan dalam perjalanan berkaryawisata tersebut. Misalnya: pengenalan terhadap kekuasaan Tuhan dalam penciptaan alam semesta (Abdul Ghafir, 1981: 104).
Karyawisata merupakan salah satu metode melaksanakan kegiatan pengajaran di lembaga pendidikan anak usia dini dengan cara mengamati dunia sesuai dengan kenyataan yang ada secara langsung yang meliputi manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan  benda-benda lainnya. Dengan mengamati secara langsung anak memperoleh kesan yang sesuai dengan pengamatannya (R, 1999: 68). 
Dalam penerapan metode karyawisata sangat tepat dilakukan apabila:
1)        Pelajaran dimaksudkan untuk memberi pengertian lebih jelas dengan alat peraga langsung.
2)        Membangkitkan penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan tanah air, serta menghargai ciptaan Tuhan.
3)        Mendorong anak mengenal masalah lingkungan dengan baik.
Dengan melalui metode karyawisata akan memberi kepuasan terhadap keinginan anak didik dengan banyak melihat kenyataankenyataan di samping keindahan alam sekitar di luar kelas. Selain itu anak didik juga akan bersikap terbuka, obyektif, luas pandangan akibat dari pengetahuan luar yang diperolehnya yang akan mempertinggi prestasi kepribadiannya dan juga anak didik memperoleh tambahan pengalaman melalui karyawisata, sedangkan guru mendapat kesempatan menerangkan segala sesuatu.
Dalam penerapan metode karyawisata, guru hendaknya merumuskan terlebih dahulu tujuan pelajaran dengan  jelas, sehingga kelihatan wajar tidaknya metode ini digunakan, dan  juga hendaknya guru menyelidiki terlebih dahulu obyek yang akan ditinjau dengan memperhatikan hal-hal yang sekiranya akan menjadi kesulitan. Selain itu perlu juga dijelaskan terlebih dahulu tujuan karyawisata dan disiapkan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab (Abdul Ghafir, 1981: 104-105).

4.      Metode bermain

  Adapun jenis permainan yang dapat dikembangkan di dalam program kegiatan bermain anak usia dini dapat digolongkan ke dalam berbagai jenis permainan seperti dikemukakan oleh Jefree, Mc.Conkey, dan Hewson (1984) ialah permainan eksploratif (exploratory play), permainan dinamis (energenic play), permainan dengan keterampilan (skillful play), permainan sosial (sosial play), permainan imajinatif (imaginative play) dan permainan teka-teki (puzzle-out play). Keenam penggolongan tersebut pada dasarnya saling terintegrasi satu dengan lainnya sehingga dalam penerapannya mungkin saja salah satu permainan dapat mengembangkan jenis permainan yang lainnya. Justru keterpaduan diantaranya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak saat melakukan permainan tersebut (Sujiono, 2009: 146).
Selain permainan diatas, untuk lebih memfokuskan pada permainan kreatif yang dikembangkan maka Lopes (dalam Sujiono, 2009: 147), mengungkapkan bahwa permainan kreatif dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a.       Kreasi terhadap objek (object creation) berupa kegiatan bermain dimana anak melakukan kreasi tertentu terhadap suatu objek.
b.      Cerita bersambung (continuing story) berupa kegiatan bermain dimana guru melalui awal sebuah cerita dan setiap anak menambahkan cerita selanjutnya bagian perbagian seperti cerita dengan menggunakan buku besar.
c.       Permainan drama kreatif (creative dramatic play) berupa permainan dimana anak dapat mengekspresikan diri melalui peniruan terhadap tingakah laku orang, hal ini dapat membuat mereka memahami dan menghadapi dunia seperti bermain dokter-dokteran.
d.      Gerakan kreatif (creative movement) berupa kegiatan bermain yang lebih menggunakan otot-otot besar seperti permainan aku seorang pemimpin dimana seorang anak melakukan gerakan tertentu dan anak lain mengikutinya/berpantomim atau kegiatan membangun dengan pasir, lumpur, dan atau tanah liat.
e.       Pertanyaan kreatif (creative questioning) yang berhubungan dengan pertanyaan terbuka, menjawab pertanyaan dengan sentuhan panca indra, pertanyaan tentang perubahan, pertanyaan yang membutuhkan beragam jawaban, dan pertanyaan yang berhubungan dengan suatu proses atau kejadian.

  
BAB III PENUTUPAN 
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas dan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan pada pendahuluan, penulis ingin menekankan bahwa ketika kita telah menjadi seorang pendidik kita harus mengenali terlebih dahulu anak yang akan kita didik, tujuan lembaga, pendekatan lembaga sehingga kesalahan pola asuh yang terjadi pada lembaga pendidikan anak usia dini tidak berlarut-larut.
Penulis sengaja mencantumkan perbedaan antara pendekatan dan metode pada pembahasan, agar memudahkan bagi kita memahami apa yang akan kita lakukan? Bukan karena penulis menganggap bahwa pendidik itu bodoh. Akan tetapi ini akan menjadi bahan ukur dalam pemikiran kita semua ketika kita menjadi seorang pendidik. Pahami sesuatu dari yang terkecil, ketika kita sudah paham! Dalami, maka kita akan mengetahui harta yang paling berharga (sebuah penyelesaian akhir).
Dalam pembahasan, penulis mengungkapkan beberapa model pendekatan bagi lembaga PAUD yang haus akan pendekatan agar memudahkan lembaga untuk mempunyai visi dan misi pada lembaga itu sendiri. Pendekatan itu antara lain; pendekatan developmentally appropriate practice (DAP), pendekatan waldorf, pendekatan akademik dan non akademik, serta pendekatan bermain. Adapun mengenai metode, penulis hanya mencantumkan beberapa macam metode saja, antara lain; metode cerita, demontrasi, karyawisata, dan bermain. Namun metode yang penulis bahas disini hanya sebagian kecil dari banyaknya metode yang ada, metode ini hanya sebagai permulaan untuk membuka pintu-pintu metode yang lainnya, ketika kita menjadi seorang pendidik yang kreatif.
Sebuah ungkapan dari penulis “kreatiflah untuk anak-anak didik kita, kreatiflah untuk negeri kita, dan kreatiflah untuk dunia. Karena kita adalah manusia yang kreatif”.       

B.     Saran-saran

Saran-saran hasil penulisan ini disusun dengan mengacu pada kesimpulan hasil penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya. Penulis menyarankan agar; pertama, lembaga pendidikan dalam hal ini adalah TK, PAUD, RA dan sekolah yang sederajat lainnya., supaya dapat memilih, menggunakan, dan mengembangkan pendekatan serta metode yang sedang di bahas ini. Karena, memiliki peran dalam mengembangkan minat dan bakat anak, pola pikir anak, sekaligus membangun karakter anak. Kedua, Guru diharapkan dapat terus mengembangkan daya kreatifnya dan dapat terus mengembangkan proses pembelajaran yang lebih matang dengan mempertimbangkan segala resiko serta jalan keluar yang lebih baik.
Penulisan ini masih dalam ruang lingkup terbatas, sehingga masih banyak aspek lain yang belum terungkap. Semoga dikemudian hari ada seorang penulis yang membahas mengenai tentang berbagai pendektan serta berbagai metode yang lebih baik lagi.

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafir, d. S. (1981). Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
Arifin, H. (1991). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Daradjat, Z. (1975). Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental,. Jakarta: Bulan Bintang.
Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. (2004). Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Hasan, M. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Yogyakarta: Diva Press.
Johnson, J. L. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini dalam berbagai pendekatan (V ed.). Jakarta: Kencana.
Kusuma, A. D. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Langgulung, H. (1962). Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Majid, A. A. (2003). Mendidik Anak Lewat Cerita Dilengkapi 30 Kisah. Jakarta: Mustaqiim.
Mansur. (2005). Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, A. (1999). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Noorlaila, I. (2010). Panduan Lengkap Mengajar Paud. Yogyakarta: PINUS BOOK PUBLISHER.
Noorlaila, I. (2010). Panduan Lengkap Mengajar PAUD Kreatif Mendidik dan Bermain Bersama Anak. Yogyakarta: PINUS BOOK PUBLISHER.
Patmonodewo, S. (2000). Pendidikana Anak Prasekolah. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
R, M. (1999). Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: PT.Rineka Cipta.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak. Boston: Mc. Graw Hill.
Siregar, E. (2010). Teori Belajar dan Pembelajaran. bogor: Ghalia Indonesia.
Soemiarti. (2005). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suara Merdeka. (2007, Januari Minggu). 60 Persen Lembaga PAUD Belum Pahami Metode Pembelajaran. Edisi Minggu .
Sujiono, Y. N. (2009). hakikat usia dini. Bandung: Rosda.
Sujiono, Y. N. (2009). KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI. Jakarta: PT. Indeks.
Sukandi, U. (2003). Belajar Aktif dan Terpadu: Apa, Mengapa, Bagaimana. Surabaya: Duta. Graha Pustaka.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Citra Umbara.